BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat
menular (contagious disease).Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri
Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan,
terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/
tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat,
melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga
melalui batuk dan bersin penderita.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15
tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai
menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri
merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak - anak muda. Penyakit ini
juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh
karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam
menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan
penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis
dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri
diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak
terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri
akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
1.2
Tujuan
Tujuan Umum
Yaitu, agar
Mahasiswa/i memahami tentang “ penyakit difteri pada anak
Tujuan Khusus
Yaitu, agar
Mahasiswa/i mengetahui dan memahami tentang :
1.
Definisi difteri
2.
Etiologi
3. Tanda dan
Gejala
4.
Patofisiologi
5.
Penatalaksanaan Medis
6.
Komplikasi
7.
Pencegahan
8. Danpak
hospitalisasi
9. Ansuhan
Keperawatan
1.3
Metode Penulisan
Metode yang
penulis gunakan dalam penyusunan makalah ilmiah ini adalah metode narasi yang
dilakukan dengan cara : Studi kepustakaan, yaitu dengan mempelajari buku sumber
catatatan kuliah dan makalah yang berhubungan dengan judul makalah ilmiah yang
dibahas.
1.4
Ruang Lingkup
Dalam
penyusunan makalah ini, penulis membatasi topik pada materi Asuhan Keperawatan
Pada Anak Dengan Difteri, pembahasan mengenai :
1.
Definisi Difteri
2.
Etiologi
3. Tanda dan
Gejala
4.
Patofisiologi
5.
Penatalaksanaan Medis
6.
Komplikasi
7.
Pencegahan
8. Danpak
hospitalisasi
9. Ansuhan
Keperawatan
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1
Definisi
Difteri adalah suatu penyakit infeksi toksik akut yang
menular, disebabkan oleh corynebacteri um diphtheriae dengan ditandai
pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa.
Difteri adalah suatu infeksi demam akut, biasanya
ditenggorok dan paling sering pada bulan-bulan dingin pada daerah beriklim
sedang. Dengan adanya imunisasi aktif pada masa anak-anak dini. (Merensien
kapian Rosenberg, buku pegangan pediatric, Hal. 337)
Difteri adalah suatu infeksi, akut yang mudah menular
dan yang sering diserang adalah saluran pernafasam bagian atas dengan tanda
khas timbulnya “pseudomembran”.
(Ngastiyah perawatan anak sakit, edisi 2 Hal. 41)
(Ngastiyah perawatan anak sakit, edisi 2 Hal. 41)
Diferi adalah penyakit akibat terjangkit bakteri yang
bersumber dari corynebacterium diphtheriae (c. diphtheriae). Penyakit ini
menyerang bagian atas murosasaluran pernafasan dan kulit yang terluka.
Tanda-tanda yang dapat dirasakan ialah sakit letak dan demam secara tiba-tiba
disertai tumbuhnya membrane kelabu yang menutupi tansil serta bagian saluran
pernafasan. (www.podnova.com)
Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut terutama
menyerang tansil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput
lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina.(www.padnova.com)
2.2 Etiologi
Penyebabnya adalah bakteri Corynebacterium
diphtheriae. Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah yang berasal dari
batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh
bakteri. Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput
lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Beberapa jenis
bakteri ini menghasilkan toksin yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan
kerusakan pada jantung dan otak.
2.3 Tanda
dan Gejala
Tergantung pada berbagai faktor, maka
manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari tanpa gejala sampai
suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor primer
adalah imunitas penderita terhadap toksin diphtheria, virulensi serta toksinogenesitas
(kemampuan membentuk toksin) Corynebacterium diphtheriae, dan lokasi penyakit
secara anatomis. Faktor-faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik
penyerta dan penyakit-penyakit pada daerah nasofaring yang
sudah ada sebelumnya. Masa tunas 2-6 hari. Penderita pada umumnya datang untuk
berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang
melebihi 38,9o C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi
penyakit diphtheria.
a) Diphtheria
Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.
b) Diphtheria
Tonsil-Faring
Gejala
anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari timbul
membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil
dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal ke
laring dan trachea.
c) Diphtheria
Laring
Pada
diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala
obstruksi saluran nafas atas.
d) Diphtheria
Kulit, Konjungtiva, Telinga
Diphtheria
kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya.
Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva
berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga
berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.
2.4
Patofisiologi
Corynebacterium diphteriae masuk kehidung atau mulut
dimana basil akan menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang
kulit, mata atau mukosa genital. Setelah 2-4 jam hari masa inkubasi kuman
dengan corynephage menghasilkan toksik yang mula-mula diabsorbsi oleh membran
sel, kemudian penetrasi dan interferensi dengan sintesa protein bersama-sama
dengan sel kuman mengeluarkan suatu enzim penghancur terhadap Nicotinamide
Adenine Dinucleotide (NAD). Sehingga sintesa protein terputus karena enzim
dibutuhkan untuk memindahkan asam amino dan RNA dengan memperpanjang rantai
polipeptida akibatnya terjadi nekrose sel yang menyatu dengan nekrosis jaringan
dan membentuk eksudat yang mula-mula dapat diangkat, produksi toksin kian
meningkat dan daerah infeksi makin meluas akhirnya terjadi eksudat fibrin,
perlengketan dan membentuk membran yang berwarna dari abu-abu sampai hitam
tergantung jumlah darah yang tercampur dari pembentukan membran tersebut
apabila diangkat maka akan terjadi perdarahan dan akhirnya menimbulkan difteri.
Hal tersebut dapat menimbulkan beberapa dampak antara lain sesak nafas sehingga
menyebabkan pola nafas tidak efektif, anoreksia sehingga penderita tampak lemah
sehingga terjadi intoleransi aktifitas.
2.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
medis
Pengobatan
umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG yang dilakukan pada
permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya sampai keadaan EKG
2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik.
Pengobatan
spesifik untuk difteri :
ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari
berturut-turut dengan sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.
Antibiotik, diberikan penisillin prokain
5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas demam. Pada pasien yang dilakukan
trakeostomi ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi
miokarditis yang sangat membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari
selama 3-4 minggu. Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan
untuk tindakan trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi
paralisis atau paresis otot, dapat diberikan strikin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg
tiap hari selama 10 hari.
Pengobatan
spesifik: Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteria didasarkan kepada
gejala klinis maka antitoksin harus diberikan setelah sampel untuk pemeriksaan
bakteriologis diambil tanpa harus menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis
tersebut. (Saat ini yang tersedia adalah antitoksin yang berasal dari kuda).
Diphtheria Antitoxin (DAT) tersedia di CD-Atlanta sebagai “investigational
product”. Program imunisasi (Amerika Serikat) melayani permintaan DAT pada
waktu jam kerja (pukul 08.00 am – 04.30 pm. EST; Senin – Jum’at dengan
menghubungi nomor telepon 404-639-8255). Diluar jam kerja dan pada waktu hari
libur menghubungi petugas jaga CDC pada nomor 404-639-2888. DAT disimpan di
stasiun karantina yang tersebar di seluruh negara bagian di Amerika Serikat.
Sebelum diberikan lakukan terlebih dahulu skin test untuk mengetahui adanya
hypersensivitas terhadap serum kuda. Jika hasilnya negative, DAT diberikan IM
dengan dosis tunggal 20.000 – 100.000 unit tergantung berat ringan serta
luasnya penyakit. Untuk kasus berat pemberian IM dan IV dilakukan bersama-sama.
Pemberian antibiotika tidak dapat menggantikan pemberian antitoksin. Procain
Penicillin G (IM) diberikan sebanyak 25.000 – 50.000 unit/kg BB untuk anak-anak
dan 1,2 juta unit/kg BB untuk orang dewasa per hari. Dibagi dalam dua dosis.
Penderita dapat juga diberikan erythromycin 40-50 mg/kg BB per hari maksimum 2
g per hari secara parenteral. Jika penderita sudah bisa menelan dengan baik
maka erythromycin dapat diberikan per oral dibagi dalam 4 dosis per hari atau
penicillin V per oral sebesar 125-250 mg empat kali sehari, selama 14 hari.
Pernah ditemukan adanya strain yang resisten terhadap erythromycin namun sangat
jarang. Antibiotik golongan macrolide generasi baru seperti azythromycin dan
chlarithromycin juga efektif untuk strain yang sensitif terhadap erythromycin
tetapi tidak sebaik erythromycin.
Terapi
profilaktik bagi carrier: untuk tujuan profilaktik dosis tunggal penicillin G
sebesar 600.000 unit untuk anak usia dibawah 6 tahun dan 1,2 juta unit untuk
usia 6 tahun ke atas. Atau dapat juga diberikan erythromycin oral selama 7-10
hari dengan dosis 40 mg/kg BB per hari untuk anak-anak dan 1 gram per hari
untuk orang dewasa.
LAPORAN
PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN ANAK
DENGAN DIFTERI
I.Pengkajian
1.Biodata
Umur : Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang ditemukan pada bayi berumur dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15 tahun
Suku bangsa : Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-negara miskin
Tempat tinggal : Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat pemukiman yang rapat-rapat, higine dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang
2.Keluhan Utama
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN ANAK
DENGAN DIFTERI
I.Pengkajian
1.Biodata
Umur : Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang ditemukan pada bayi berumur dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15 tahun
Suku bangsa : Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-negara miskin
Tempat tinggal : Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat pemukiman yang rapat-rapat, higine dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang
2.Keluhan Utama
Klien marasakan demam yang tidak terlalau
tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia, lemah
3.Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia
4.Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
5.Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya keluarga yang mengalami difteri
6.Pola Fungsi Kesehatan
a.Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksia
b.Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
c.Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur
d.Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia
3.Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia
4.Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
5.Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya keluarga yang mengalami difteri
6.Pola Fungsi Kesehatan
a.Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksia
b.Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
c.Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur
d.Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia
II.Pemeriksaan Fisik
a.TTV
Nadi : meningkat
TD : menurun
RR : meningkat
Suhu : kurang dari 38°C
bInspeksi : lidah kotor, anoreksia, ditemukan pseudomembran
cAuskultasi : nafas cepet dan dangkal
III.Pemeriksaan
Penunjang
apemeriksaan terhadap apus tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium.
bUntuk melihat kelainan jantung, bisa dilakukan pemeriksaan EKG.
apemeriksaan terhadap apus tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium.
bUntuk melihat kelainan jantung, bisa dilakukan pemeriksaan EKG.
IV.Penatalaksanaan
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana :
a. biakan hidung dan tenggorok
b. seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)
c. diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid diphtheria.
Hasil Kultur
Test Shick
Tindakan
-
-
Bebas isolasi
+
-
Pengobatan carrier
+
+, gejala (-)
ADS + Penisilin
-
+
Toksoid
VI.Diagnosa Keperawatan
1.Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan Anoreksia
Intervensi
1.Diagnosa
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan Anoreksia
Tujuan : Meningkatkan nafsu makan sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria Hasil n
a.Klien dapat meningkat berat badasesuai tujuan
b.Klien tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi
Intervensi
1).Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan
Faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan
2).Berikan perawatan mulut sering dan sebelum makan
Pasien cenderung mengalami luka dan atau perdarahan gusi dan rasa tak enak pada mulut dimana menambah anoraksia
3).Berikan makanan sedikit dan sering
Meningkatkan asupan nutrisi
4).Ukur masukan diet harian dengan jumlah kalori
Memberikan informasi tentang kebutuhan pemasukan/ defisiensi
5).Timbang berat badan sesuai indikasi
Mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi
6).Jaga keamanan saat memberikan makanan pada pasien, seperti tinggikan kepala tempat tidur selama makan atau selama pemberian makan lewat selang NGT
Menurunkan resiko regurgitasi dan atau terjadinya aspirasi
7).Tingkatkan kenyamanan, lingkungan yang santai termasuk sosialisasi saat makan. Anjurkan orang terdekat untuk membawa makanan yang disukai pasien
Sosialisasi waktu makan dengan orang terdekat atau teman dapat meningkatkan pemasukan dan menormalkan fungsi makan
8).Kolaborasi dengan ahli gizi
Untuk mengidentifikai kebutuhan kalori (nutrisi tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh, dan keadaaan penyakit)
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana :
a. biakan hidung dan tenggorok
b. seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)
c. diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid diphtheria.
Hasil Kultur
Test Shick
Tindakan
-
-
Bebas isolasi
+
-
Pengobatan carrier
+
+, gejala (-)
ADS + Penisilin
-
+
Toksoid
VI.Diagnosa Keperawatan
1.Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan Anoreksia
Intervensi
1.Diagnosa
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan Anoreksia
Tujuan : Meningkatkan nafsu makan sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria Hasil n
a.Klien dapat meningkat berat badasesuai tujuan
b.Klien tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi
Intervensi
1).Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan
Faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan
2).Berikan perawatan mulut sering dan sebelum makan
Pasien cenderung mengalami luka dan atau perdarahan gusi dan rasa tak enak pada mulut dimana menambah anoraksia
3).Berikan makanan sedikit dan sering
Meningkatkan asupan nutrisi
4).Ukur masukan diet harian dengan jumlah kalori
Memberikan informasi tentang kebutuhan pemasukan/ defisiensi
5).Timbang berat badan sesuai indikasi
Mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi
6).Jaga keamanan saat memberikan makanan pada pasien, seperti tinggikan kepala tempat tidur selama makan atau selama pemberian makan lewat selang NGT
Menurunkan resiko regurgitasi dan atau terjadinya aspirasi
7).Tingkatkan kenyamanan, lingkungan yang santai termasuk sosialisasi saat makan. Anjurkan orang terdekat untuk membawa makanan yang disukai pasien
Sosialisasi waktu makan dengan orang terdekat atau teman dapat meningkatkan pemasukan dan menormalkan fungsi makan
8).Kolaborasi dengan ahli gizi
Untuk mengidentifikai kebutuhan kalori (nutrisi tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh, dan keadaaan penyakit)
2.5.2 Penatalaksanaan
keperawatan
Pasien
difteri harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas harus memakai
gaun khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian tugas atau
sewaktu-waktu bila kotor (jangan dari pagi sampai malam hari). Sebaiknya
penunggu pasien juga harus memakai celemek tersebut untuk mencegah penularan ke
luar ruangan. Harus disediakan perlengkapan cuci tangan: desinfektan, sabun,
lap, atau handuk yang selallu kering (bila ada tisu) air bersih jika ada kran
juuga tempat untuk merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan.
Risiko
terjadi komplikasi obstruksi jalan napas, miokarditis, pneumonia.
Pasien difteri walaupun penyakitnya ringan perlu dirawat di rumah sakit karena potensial terjadi komplikasi yang membahayakan jiwanya yang disebabkan adanya pseudomembran dan eksotosin yang dikeluarkan oleh basil difteri tersebut.
Pasien difteri walaupun penyakitnya ringan perlu dirawat di rumah sakit karena potensial terjadi komplikasi yang membahayakan jiwanya yang disebabkan adanya pseudomembran dan eksotosin yang dikeluarkan oleh basil difteri tersebut.
õ
Sumbatan jalan napas.
Kelainan ini
terjadi karena adanya edema pada laring dan trakea serta adanya pseudomembran.
Gejala sumbatan adalah suara serak dan stridor inspiratoir. Bila makin berat
terjadi sesak napas, sianosis, tampak retraksi otot, kedengaran stridor:
a.
Berikan O2
b.
Baringkan setengah duduk
c.
Hubungi dokter.
d.
Pasang infus (bila belum dipasang)
2.6
Komplikasi Difteri
Racun
difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun
organ lainnya:
1)
Infeksi tumpangan oleh kuman lain
Infeksi ini
dapat disebabkan oleh kuman streptokokus dan staphilokokus. Panas tinggi
terutama didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi tumpangan dengan
kuman streptokokus.
2)
Obstruksi jalan napas akibat membran atau oedem jalan nafas
Obstruksi
ini dapat terjadi akibat membaran atau oedem jalan nafas. Obstruksi jalan nafas
dengan sengaja akibatnya, bronkopneumoni dan atelektasis.
3)
Sistemik
Miokarditis
Sering
timbul akibat komplikasi difteri berat tetapi juga dapat terjadi pada bentuk
ringan. Komplikasi terhadap jantung pada anak diperkirakan 10-20%. Faktor yang
mempengaruhi terhadap niokarditis adalah virulensi kuman. Virulensi makin tinggi komplikasi jantung. Miokarditis dapat terjadi cepat pada minggu pertama atau lambat pada minggu keenam.
mempengaruhi terhadap niokarditis adalah virulensi kuman. Virulensi makin tinggi komplikasi jantung. Miokarditis dapat terjadi cepat pada minggu pertama atau lambat pada minggu keenam.
Neuritis
Terjadi
5-10% pada penderita difteri yang biasanya merupakan komplikasi dari difteri
berat. Manifestasi klinik ditandai dengan:
Timbul setelah masa laten
Lesi biasanya bilateral dimana motorik kena lebih
dominan dari pada sensorik
Biasanya sembuh sempurna.
4)
Susunan saraf
Kira-kira
10% penderita difteri akan mengalami komplikasi yang mengenai sistem susunan
saraf terutama sistem motorik. Paralysis ini dapat berupa:
o
Paralysis palatum molle
o
Manifestasi saraf yang paling sering
o
Timbul pada minggu ketiga dan khas dengan adanya suara dan regurgitasi hidung,
tetapi ada yang mengatakan suara ini timbul pada minggu 1-2
o
Kelainan ini biasanya hilang sama sekali dalam 1-2 minggu.
o
Ocular palsy
o
Biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai oleh paralysis dari otot
akomodasi yang menyebabkan penglihatan menjadi kabur. Otot yang kena ialah m.
rectus externus.
o
Paralysis diafragma
o
Dapat terjadi pada minus 5-7
o
Paralisis ini disebabkan neuritis n. phrenicus dan bila tidak segera diatasi
penderita akan meninggal.
o
Paralysis anggota gerak
v Dapat
terjadi pada minggu 6-10
v Pada
pemeriksaan didapati lesi bilateral, refleks tendon menghilang, cairan
cerebrospinal menunjukan peningkatan protein yang mirip dengan sindrom guillian
barre.
2.7
Pencegahan
a)
Umum
Kebersihan
dan pengetahuan tentang bahaya penyakit ini bagi anak-anak. Pada
umumnya
setelah menderita penyakit diphtheria kekebalan penderita
terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi.
b)
Khusus
Terdiri dari
imunisasi DPT dan pengobatan carrier.
2.8 Dampak
hospitalisasi pada anak
Dampak tersebut bersifat individual dan sangat
tergantung pada usia perkembangan anak, pengalaman sebelumnya terhadap sakit,
sistem pendukung yang tersedia dan kemampuan koping yang dimilikinya, pada
umumnya ,reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan karena perpisahan,
kehilangan, perlukaan tubuh dan rasa nyeri.
Dampak anak
pada hospitalisasi :
1. Masa bayi
(0-1 th)
Dampak
perpisahan
Pembentukan
rasa P.D dan kasih sayang
Usia anak
> 6 bln terjadi stanger anxiety /cemas
- Menangis
keras
- Pergerakan
tubuh yang banyak
- Ekspresi
wajah yang tak menyenangkan
2.Masa
todler (2-3 th)
Sumber utama
adalah cemas akibat perpisahan .Disini respon perilaku anak dengan tahapnya.
> Tahap protes menangis,
menjerit, menolak perhatian orang lain
> Putus
asa menangis berkurang,anak tak aktif,kurang menunjukkan minat bermain, sedih,
apatis
>
Pengingkaran/ denial
- Mulai
menerima perpisaha
- Membina
hubungan secara dangkal
- Anak mulai
menyukai lingkungannya
3. Masa
prasekolah ( 3 sampai 6 tahun )
- Menolak
makan
- Sering
bertanya
- Menangis
perlahan
- Tidak
kooperatif terhadap petugas kesehatan
4. Masa
sekolah 6 sampai 12 tahun
Perawatan di
rumah sakit memaksakan meninggalkan lingkungan yang dicintai , klg, klp sosial
sehingga menimbulkan kecemasan. Kehilangan kontrol berdampak pada perubahan
peran dlm klg, kehilangan klp sosial,perasaan takut mati,kelemahan fisik. Reaksi
nyeri bisa digambarkan dgn verbal dan non verbal.
5.Masa
remaja (12 sampai 18 tahun )
Anak remaja
begitu percaya dan terpengaruh kelompok sebayanya. Saat MRS cemas karena
perpisahan tersebut. Pembatasan aktifitas kehilangan control
Reaksi yang
muncul :
> Menolak
perawatan / tindakan yang dilakukan
> Tidak
kooperatif dengan petugas
Perasaan
sakit akibat perlukaan menimbulkan respon :
-
bertanya-tanya
- menarik
diri
- menolak
kehadiran orang lain
2.9Asuhan Keperawatan
2.9.1
Pengkajian
• Kaji tanda
dan gejala umum: apabila terdapat demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat,
nyeri kepala dan anoreksia sehingga pasien tampak sangat lemah.
• Kaji tanda dan gejala lokal: nyeri menelan, bengkak pada leher.
• Kaji gejala akibat eksotoksin misalnya mengenai otot jantung terjadi miokarditis dan bila mengenai saraf terjadi kelumpuhan.
• Kaji bila terdapat komplikasi.
• Pemeriksaan diagnostik: pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin, pada urin terdapat albuminuria ringan.
• Kaji tanda dan gejala lokal: nyeri menelan, bengkak pada leher.
• Kaji gejala akibat eksotoksin misalnya mengenai otot jantung terjadi miokarditis dan bila mengenai saraf terjadi kelumpuhan.
• Kaji bila terdapat komplikasi.
• Pemeriksaan diagnostik: pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin, pada urin terdapat albuminuria ringan.
2.9.2
Diagnosa keperawatan
• Resiko
terjadinya komplikasi obstruksi jalan nafas, miokarditis.
• Gangguan
masukan nutrisi.
• Gangguan
rasa aman dan nyaman
• Kurangnya
pengetahuan orang tua mengenai penyakit difteri.
• Gangguan
hiperterm
2.9.3
Intervensi
• Pantau dan
cegah adanya komplikasi.
• Dorong dan dukung asupan dan status nutrisi yang sesuai.
• Pantau adanya nyeri
• Berikan dorongan emosional pada anak dan keluarga
• Dorong dan dukung asupan dan status nutrisi yang sesuai.
• Pantau adanya nyeri
• Berikan dorongan emosional pada anak dan keluarga
2.9.4 Implementasi Keperawatan
Lakukanlah
apa yang harus anda lakukan pada saat itu. Dan catat apa yang telah anda
lakukan tidakan pada pasien.
2.95. Evaluasi Keperawatan
• Anak tidak
menunjukan tanda dan gejala adanya komplikasi / infeksi
• Fungsi pernafasan anak membaik
• Tingkat aktifitas anak sesuai dengan usianya
• Fungsi pernafasan anak membaik
• Tingkat aktifitas anak sesuai dengan usianya
GEJALA KLINIS
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
1. Panas lebih dari 38oC
2. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil.
3. Sakit
waktu menelan
4. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan
kelenjar leher.
Tidak semua
gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu
menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika
pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas
rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada
anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit
kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi.
D.
PATOFISIOLOGI
1. Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau
mulut dimana baksil akan menempel di mukosa saluran nafas bagian atas,
kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital dan biasanya bakteri
berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung,
hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara
(laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan
terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari
batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh
bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau
racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan
kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Masa inkubasi penyakit difteri dapat
berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan masa penularan beragam, dengan penderita
bisa menularkan antara dua minggu atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih
dari empat minggu sejak masa inkubasi. Sedangkan stadium karier kronis dapat
menularkan penyakit sampai 6 bulan.
2. Tahap
Penyakit Dini
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan.
Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi
toksin.Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada
saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan
tungkai.Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja
selama minggupertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai
kelainan ringanpada EKG. Namun, kerusakan
bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian
mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama
berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang
difteri juga menyerang kulit.
3. Tahap
Penyakit lanjut
Pada
serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan
selaputyang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya,
di dekat amandel dan bagian tenggorokan
yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika
membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir dibawahnya akan berdarah.
Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa
terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan
bernafas.
E.
EPIDEMIOLOGI
1. Person (Orang)
Difteri dapat menyerang seluruh
lapisan usia tapi paling sering menyerang anak-anak yang belum diimunisasi.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Selama permulaan
pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan
anak-anak muda.
Data menunjukkan bahwa setiap
tahunnya di dunia ini terdapat 1,5 juta kematian bayi berusia 1 minggu dan 1,4
juta bayi lahir akibat tidak mendapatkan imunisasi. Tanpa imunisasi, kira-kira
3 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit campak, 2 dari 100
kelahiran anak akan meninggal karena batuk rejan. 1 dari 100 kelahiran anak
akan meninggal karena penyakit tetanus. Dan dari setiap 200.000 anak, 1 akan
menderita penyakit polio.
2. Place (Tempat)
Penyakit ini juga dijumpai pada
daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga
kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan
vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang
dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan
sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang
tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang
menyerang saluran pernafasan ini.
3. Time (Waktu)
Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja
dan kapan saja tanpa mengenal waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh
dan tubuh kita tidak mempunyai system kekebalan tubuh maka pada saat itu kuman
akan berkembang biak dan berpotensi untuk terjangkit penyakit difteri.
F.
PENANGANAN
1. Pencegahan
a. Isolasi Penderita
Penderita difteria harus di isolasi
dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan
tidak terdapat lagi Corynebacterium diphtheriae.
b. Imunisasi
Pencegahan dilakukan dengan
memberikan imunisasi DPT (difteria, pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan
vaksin DT (difteria, tetanus) pada anak-anak usia sekolah dasar.
c. Pencarian
dan kemudian mengobati karier difteria
Dilakukan dengan uji Schick, yaitu
bila hasil uji negatif (mungkin penderita karier pernah mendapat imunisasi),
maka harus diiakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan Corynebacterium
diphtheriae, penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.
2. Pengobatan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
a. Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
b. Pengobatan Khusus
1) Antitoksin :
Anti Diptheriar Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera
setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari
pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan
lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu.
2) Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin , Penisilin, kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin , Penisilin, kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.
3) Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala.
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala.
c. Pengobatan
Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk
menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin
umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan
pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
d. Pengobatan
Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien
sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan
tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui,
pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi
dasar diberikan booster toksoid difteria.
e. Pengobatan
Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan
keluhan, mempunyai uji Schick
negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang
dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau
eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan
tonsilektomi/adenoidektomi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DIFTERI sangat rentan pada usia bayi dan anak. Seperti
yang telah di jelaskan sebelumnya bahayanya baik anak dan desa, proses
penularannya oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang
menginfeksi saluran pernafasan, Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan
dekat, melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh,
juga melalui batuk dan bersin penderita.
Daftar Pustaka
1. Stephen
S. tetanus edited by.Behrman, dkk. Dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson
Hal.1004-07. Edisi 15-Jakarta : EGC, 2000
2. Merdjani, A., dkk. 2003. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.Badan Penerbit IDAI, Jakarta.
3. Dr. Rusepno Hasan, dkk. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jilid II. Hal 568-72.. Cetakan kesebelas Jakarta: 2005.
5. http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/index.php/read/2009/05/13/1164/2/Bahaya-Tetanus-dan-Cara-Pencegahannya Diakses tanggal 09 Juni 2009
6. http://medicastore.com/penyakit/91/Difteri.html Diakses tanggal 11 Juni 2009
2. Merdjani, A., dkk. 2003. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.Badan Penerbit IDAI, Jakarta.
3. Dr. Rusepno Hasan, dkk. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jilid II. Hal 568-72.. Cetakan kesebelas Jakarta: 2005.
5. http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/index.php/read/2009/05/13/1164/2/Bahaya-Tetanus-dan-Cara-Pencegahannya Diakses tanggal 09 Juni 2009
6. http://medicastore.com/penyakit/91/Difteri.html Diakses tanggal 11 Juni 2009
Brook, I., 2002. Pediatric Anaerobic Infections : Diagnosis and
Management 3th edition, Marcell-Dekker, Inc. : New York, p.
531-544
7.Carpenito,
Lynda Juall (2001). Buku Saku : Diagnosa Keperawatan edisi : 8 penterjemah
Monica Ester. EGC. Jakarta
8.Doengoes E Marlynn, dkk (1999) Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3 penterjemah Monica Ester. EGC. Jakarta
8.Doengoes E Marlynn, dkk (1999) Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3 penterjemah Monica Ester. EGC. Jakarta
No comments:
Post a Comment